Kamis” di Kampung Notoyudan, Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika selama ini pesantren identik dengan penerapan aturan secara ketat berupa pembatasan pergaulan laki-laki dan perempuan, maka pesantren ini seakan tidak mempermasalahkan jenis kelamin.
Pondok Pesantren Senin-Kamis memang unik. Ini pesantren khusus waria. Karena itu santri pun dibebaskan untuk “memilih” menjadi laki-laki atau perempuan, termasuk dalam hal beribadah.
“Di sini disediakan kain sarung dan mukena untuk salat. Terserah mereka, nyamannya beribadah pakai apa, bebas,” kata Mariani, waria pemilik Pondok Pesantren, saat berbincang di pesantren yang juga menjadi tempat tinggalnya, Sabtu, 6 Agustus 2011.
Berawal dari hanya dihuni 10 orang waria, pesantren ini didirikan pertama kali pada Juli 2008 lalu. Saat ini sudah 25 waria yang bergabung untuk menjadi santri.
“Di sini kami mengajarkan teman-teman untuk beribadah,” tutur Mariani. “Orang beribadah itu kan untuk mencari surga. Untuk mencari surga tak terbatas jenis kelamin dan pakaian. Yang bisa dijamin masuk surga itu adalah yang bertakwa pada Allah SWT,” katanya.
Mariani, waria berumur 51 tahun yang sehari-hari memakai baju kurung dan berkerudung, menjelaskan waria yang belajar beribadah di pesantrennya berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Medan, Padang, Mataram, Surabaya, Tasikmalaya, dan Yogyakarta sendiri. Mereka semua kos di Kota Gudeg.
“Terdapat 225 waria yang ada di DIY, namun yang terdaftar di Ikatan Waria Yogyakarta 120 orang,” dia menjelaskan.
Sehari-hari, para waria tersebut berprofesi macam-macam: ada yang mengamen, ada yang punya usaha sendiri, bekerja di LSM, bekerja di salon, dan lainnya.
“Biaya pondok pesantren ini dari biaya saya sendiri, yaitu dari salon. Jadi, tidak ada bantuan dari mana-mana,” katanya. Salon itu terletak di dalam areal pondok pesantren.
Mariani mengaku masih menemui kesulitan mengajak teman-temannya sesama waria untuk beribadah di pesantrennya. “Waria itu kalau diajak beribadah sulit,” dia mengeluh. “Di sini tidak ada paksaan dan tidak dipungut biaya sepersen pun.”
Meski demikian, katanya bangga, banyak dari mereka yang belajar di pesantren ini sekarang sudah tidak keluyuran malam lagi. “Sekarang mereka sudah pada bisa rias pengantin keliling.”